-

Selasa, 20 Juli 2010

Seruan Untuk Anak Bangsa

KAWAN-KAWAN PARA PEMUDA ANAK BANGSA YANG SELALU MENDAMBAKAN KEMENANGAN DAN PEMBEBASAN SEJATI RAKYAT INDONESIA................

AYO BERGABUNG BERSAMA KAMI DALAM PERJUANGAN PEMBEBASAN RAKYAT....
HANYA KIT LAH YANG MENJADI PENENTU NASIB BANGSA INI. KALAU KAWAN-KAWAN BERMASA BODOH MELIHAT KONDISI HARI INI CELAKA LAH BANGSA KITA.

HAI PEMUDA INDONESIA...MAJULAH KEMENANGAN DI TANGAN KITA
BANGUN PERSATUAN GERAKAN RAKYAT !!!!!!!!!!!!!
LAWAN NEOLIBERALISME!!!!!!!!!!!!!
HABCURKAN KAPITALISME!!!!!!!!!!!!!

BERGABUNGLAH DENGAN KAMI DALAM PERJUANGAN PEMBEBASAN RAKYAT.
BERSAMA KAMI ADA
PRP MAKASSAR-KASBI SULSEL -FOR INDONESIA SULSEL- FSPBI SULSEL-ARMADA SULSEL-AMARA SULSEL-MPO PEMILAR,

Kebijakan elit politik borjuasi mencekik kehidupan rakyat! Rezim neoliberal SBY-BUDIONO tidak peduli dengan kesejahteraan rakyat!

Pada akhir-akhir ini sudah banyak sekali beberapa aturan atau rencana kebijakan yang diupayakan oleh rezim neoliberal untuk diterapkan menjadi sebuah kebijakan. Permasalahannya rencana kebijakan tersebut nantinya jelas-jelas akan semakin menjerumuskan rakyat Indonesia ke dalam kesengsaraan dan menguntungkan para elit politik borjuasi dan pemilik modal. Beberapa contohnya antara lain mengenai rencana kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) pada bulan Juli 2010, rencana penghapusan subsidi BBM untuk sepeda motor, dan lolosnya usulan Dana Percepatan Pembangunan Daerah/Dana Aspirasi. Dampak dari seluruh kebijakan tersebut adalah rakyat harus semakin dalam merogoh koceknya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Sementara jika
dilihat dari motivasi rencana penerapan kebijakan-kebijakan tersebut antara lain hanya untuk menguntungkan para pemilik modal dan melanggengkan kekuasaan neoliberalisme di Indonesia. Sebagai contoh mengenai kenaikan TDL yang rencananya akan diterapkan pada bulan Juli 2010. Para elit politik borjuasi selalu mengatakan, bahwa kenaikan TDL sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi karena telah diputuskan dalam APBN-P 2010. Namun tidak pernah disebutkan dengan jelas, mengapa TDL harus naik dan diputuskan dalam APBN-P 2010. Pernyataan-pernyataan yang terlontar hanyalah bahwa kenaikan TDL ini untuk menutupi kerugian PLN dan adanya krisis listrik nasional. Krisis listrik di beberapa daerah di luar pulau Jawa sebenarnya telah terjadi bertahun-tahun yang lalu. Sudah menjadi hal yang lumrah, bagi penduduk di luar pulau Jawa, mengalami pemadaman listrik bergilir. Namun baru pada tahun 2009, pemadaman listrik bergilir juga harus dialami oleh penduduk di pulau Jawa.

UU Ketenagalistrikan yang baru (UU No 30/2009), kewenangan PLN sebagai satu-satunya Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) telah dipangkas. Artinya pemerintah daerah, koperasi dan pemilik modal dapat melakukan bisnis di bidang ketenagalistrikan, yang sebelumnya menjadi monopoli PLN. Para pemilik modal diberikan kewenangan untuk masuk ke semua lini bisnis listrik, seperti pembangkitan, transmisi, distribusi ataupun penjualan. Seperti halnya privatisasi di penjualan BBM di Indonesia, maka ketika ketenagalistrikan dikuasai oleh para pemilik modal, maka TDL akan menjulang tinggi. Kenaikan TDL kali ini tentu saja untuk mengakomodir masuknya para pemilik modal untuk berbisnis dalam ketenagalistrikan. Belum lagi mengenai rencana pencabutan subsidi premium bagi pengendara motor. Pencabutan subsidi premium bagi pengendara motor sama artinya dengan kenaikan harga BBM khusus pengendara motor. Alasan yang selalu dikemukakan oleh elit politik borjuasi adalah karena industri sepeda motor di Indonesia merupakan industri yang paling tinggi pertumbuhannya. Para elit politik borjuasi berpikir, bahwa dengan banyaknya rakyat Indonesia yang membeli sepeda motor di Indonesia maka pertumbuhannya ekonominya juga sudah semakin menguat. Bahkan para elit politik borjuasi mengatakan bahwa dengan menghapuskan subsidi premium untuk sepeda motor akan menghemat pengeluaran sebesar Rp 32 Triliun. Padahal sudah jelas bahwa pengguna sepeda motor adalah kalangan rakyat bawah, yang tidak mampu membeli mobil pribadi dan untuk menghemat pengeluaran dibandingkan harus menggunakan angkutan umum. Penghematan yang didengung-dengungkan oleh rezim neoliberal, ternyata sudah mulai terungkap akhirnya akan digunakan untuk apa. Salah satunya adalah dengan menerapkan Dana Percepatan Pembangunan Daerah atau dulu disebut sebagai Dana Aspirasi. Setelah mengalami penolakan dari berbagai fraksi di DPR, namun akhirnya Dana Aspirasi yang berubah nama Dana Percepatan Pembangunan Daerah ini dapat digolkan juga. Namun pemberian dana ini sebenarnya sangat sarat dengan kepentingan politik elit borjuasi. Pemberian dana ini dapat disimpulkan untuk menjaga status quo anggota DPR dengan cara membayar balik jasa konstituen dalam kampanye sebelumnya dengan menggunakan uang negara. Dengan cara tersebut, para elit borjuasi akan harum namanya di daerah pemilihannya dan memperbesar kemungkinan ia akan terpilih kembali di pemilu berikutnya. Praktek ini sudah dilegalkan di AS dan Filipina dan terbukti memang itulah tujuannya. Motivasi yang seakan-akan mulia, namun ternyata hanya digunakan sebagai bungkus taktik politik di balik pengusulan dana tersebut. Sudah jelas bahwa manuver para elit politik borjuasi dan rezim neoliberal hanya untuk memberikan keuntungan bagi partai politiknya dan pemilik modal. Mereka tidak pernah mempedulikan nasib rakyat Indonesia secara keseluruhan. Praktek melanggengkan kekuasaan untuk menerapkan kebijakan-kebijakan neoliberalisme sedang dijalankan di Indonesia. Sementara sudah terbukti bahwa praktek neoliberalisme di Indonesia hanya akan memberikan kemiskinan, kemelaratan dan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia.

Senin, 19 Juli 2010

Hentikan Segala Bentuk Teror Terhadap Pengungkapan Kasus Korupsi!

Salam rakyat pekerja,

Teror terhadap pengungkapan kasus korupsi di Indonesia kembali terjadi. Pada tanggal 6 Juli 2010, kantor majalah TEMPO dilempar bom molotov oleh orang tak dikenal. Aksi penyerangan bom molotov ke kantor majalah TEMPO tersebut terjadi pukul 02.40 WIB oleh pengendaran sepeda motor. Tentu saja dapat kita simpulkan bahwa penyerangan dengan bom molotov tersebut terkait dengan berita-berita yang diangkat oleh majalah TEMPO akhir-akhir ini. Kebenaran memang majalah TEMPO memang sedang giat memberitakan indikasi korupsi yang dilakukan oleh para perwira polisi.

Kemudian pada tanggal 8 Juli 2010, peneliti Divisi Investigasi Publik dan Investigator ICW, Tama Satrya Langkun, dibacok oleh oleh orang tak dikenal pada pukul 03.45 WIB. Tama yang sedang membongkar kasus rekening perwira polisi Rp 95 Miliar ini, mendapatkan 29 jahitan di 3 luka terbuka menganga lebar di kepala. Luka di kepala bagian depan dijahit 12 jahitan, sedangkan di kepala bagian belakang terhadap dua sayatan dijahit 11 jahitan dan 7 jahitan. Selain luka itu,Tama juga mengalami luka di bagian leher, tangan kanan dan memar-memar di beberapa bagian tubuh.

Ancaman teror yang dilakukan oleh para koruptor kepada masyarakat yang berniat membongkar kasus-kasusnya tentu bukan kali ini saja terjadi di Indonesia. Teror biasa dilakukan untuk membungkam suara-suara masyarakat yang akan mengusik kenikmatan para koruptor dalam menguras uang negara.

Namun hingga saat ini, ancaman teror seakan-akan dibiarkan oleh rejim Neoliberal. Rejim Neoliberal dengan berbagai dalih mengatakan akan berupaya mengusut ancaman-ancaman teror yang ditebar oleh para koruptor. Tetapi kita tahu, hasil akhir dari upaya pengungkapan yang dilakukan oleh rejim Neoliberal. Nol Besar!

Kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia tentunya menunjukkan bagaimana aparat penyelenggara negara dan pemilik modal melakukan penindasan dan pemiskinan terhadap rakyatnya. Koruptor memang telah menggerogoti kehidupan bangsa. Dengan berbagai upaya dan menggunakan berbagai koneksinya, para koruptor sampai saat ini menikmati hasil korupsi dan tidak pernah ditindak oleh rejim Neoliberal. Koruptor yang biasanya terdiri dari para penyelenggara negara dan pemilik modal, memang seakan-akan dilindungi oleh rejim Neoliberal. Karena dengan tindakan-tindakan merekalah, maka agenda-agenda Neoliberalisme dapat berjalan di Indonesia. Hubungan yang harmonis antara para penyelenggara negara yang mendukung Neoliberalisme dan pemilik modal dibutuhkan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.